Siapa yang hari ini tidak
mengenal kopi, minuman sejuta umat. Ia menjadi minuman sejak dari kelas rakyat jelata di teras gubug hingga ke
resto-resto terkenal yang disambangi oleh kaum jet set. Jika anda berfikir
bahwa kopi baru terkenal belakangan setelah Dee menulis sebuah novel berjudul
Philosofi Kopi, atau setelah usaha warkop dan cafe menjamur bagai cendawan
dimusim hujan, maka anda keliru.
Kopi memang sudah menorehkan sejarahnya bahkan jauh sebelum kita yang bernafas hari ini belumlah berupa orok. Sejarah kopi telah menapaki perjalanan panjang kesejarahan dalam peradaban manusia, terkadang kisahnya sepahit rasa seduhan bijinya, terkadang pula semanis daging buahnya. Kopi sebagai salah satu komoditi potensial pada masa pemerintahan VOC telah memberikan keuntungan besar bagi mereka, sementara di sisi lain justru menyebabkan penderitaan masyarakat di nusantara melalui penerapan cultivation cultuur stelseel.
Kopi memang sudah menorehkan sejarahnya bahkan jauh sebelum kita yang bernafas hari ini belumlah berupa orok. Sejarah kopi telah menapaki perjalanan panjang kesejarahan dalam peradaban manusia, terkadang kisahnya sepahit rasa seduhan bijinya, terkadang pula semanis daging buahnya. Kopi sebagai salah satu komoditi potensial pada masa pemerintahan VOC telah memberikan keuntungan besar bagi mereka, sementara di sisi lain justru menyebabkan penderitaan masyarakat di nusantara melalui penerapan cultivation cultuur stelseel.
Efek keberadaan kopi di Mandar juga mebawa perubahan luar biasa dari satu segi. Kalau kita mengkaji sejarah, maka kita akan menemukan bahwa
kopi telah menjadi pencetus utama hingga kemudian orang Mandar mengenal dan
menggunakan sokkoq biring sebagai penutup kepala pakaian adat resmi masyarakat
Mandar khususnya kaum bangsawan lelakinya (penutup kepala yang lain untuk
laki-laki adalah destar atau passapu, ada juga yang menyebutnya tombo paduang).
Maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa dengan panjangnya sejarah
perkopian dengan berbagai peristiwa yang mengiringinya kopi telah membentuk
pula lahirnya sebuah kebudayaan luhur anak bangsa ini.
Selain Aceh atau Bandung, Tana
Toraja di Sulawesi juga cukup terkenal di dunia sebagai penghasil kopi yang
berkualitas bahkan menurut sebuah informasi bahwa kini kopi Toraja menduduki
peringkat kelima sebagai kopi paling enak sedunia. Sementara untuk daerah Sulawesi bagian barat,
penghasil kopi yang cukup dikenal bahkan sampai di Eropa adalah kabupaten
Mamasa dengan luas areal 23.419 ha.
Masuknya kopi di Nusantara.
Bersumber dari sebuah blog
menyebutkan bahwa kopi pertama kali didatangkan ke Batavia (sekarang bernama
Jakarta) adalah jenis arabika yang dibawa oleh komandan pasukan VOC bernama
Adnan Van Ommen dari Malabar pada tahun 1696. Sayangnya tanaman-tanaman itu
kemudian musnah oleh peristiwa banjir hingga pada tahun 1699, didatangkan lagi
bibit-bibit tanaman baru. Pada awal-awal tahun 1700-an itulah kopi sebagai
komoditi dagang benar-benar mencapai puncak keemasan. Bagaimana tidak, pada
masa itu kopi dihargai sampai 3 guilder perkilogramnya yang jika dikurskan ke
dalam rupiah pada masa sekarang sama dengan 100 US dollar perkilogram atau setara
Rp. 1.300.000/kg. Sungguh suatu harga yang luar biasa, hal ini menyebabkan
hanya kalangan-kalangan konglomerat kaya saja yang dapat menikmati secangkir
kopi. Harga selangit ini terus bertahan hingga memasuki akhir abad XVIII harga
kopi kemudian jatuh dengan drastis hanya 0,6 guilder/kg. sehingga kopi kemudian
bisa dinikmati oleh kalangan yang lebih luas.
Sekitar akhir abad XIX kejayaan
kopi arabika mengalami kemunduran hebat oleh adanya serangan hama karat daun
yang diduga masuk ke nusantara pada tahun 1876 yang menyebabkan keberadaan
perkebunan kopi nusantara nyaris musnah. Hanya perkebunan-perkebunan kopi yang
berada di ketinggian 1000 mdpl. saja yang masih mampu bertahan dari hama ini.
Lalu kemudian pemerintah Belanda mendatangkan lagi kopi varietas lain yakni
liberika. Kopi jenis liberika ini rupanya juga tidak memiliki daya tahan yang
lebih baik dari jenis arabika. Selain itu kopi jenis ini tidak mendapat
sambutan yang begitu hangat di pasaran mengingat rasanya yang lebih asam. Untuk
mengatasi permasalahan ini, kembali didatangkan jenis kopi baru yaitu jenis
robusta. Jenis ini rupanya lebih tahan penyakit dan perawatannya relatif lebih
mudah serta rasanya yang bisa diterima oleh kebanyakan konsumen kopi.
Selain sumber informasi mengenai
awal keberadaan sejarah masuknya kopi di Tana Toraja seperti disebutkan
sebelumnya, ada pula informasi yang datang dari Tempo.co.id yang menyebut bahwa
kopi dibawa oleh para pedagang Arab pada abad XIV. Hal ini mungkin cukup bisa
diterima mengingat orang Toraja menyebut kopi dengan kawaq (kawa’), sangat
mirip dengan sebutan orang Arab untuk objek yang sama yakni kahwa. Seorang
teman penulis yang orang Toraja juga sempat membagi informasi bahwa salah
seorang kakeknya pernah menyebutkan jika orang Toraja sudah mengenal kopi jauh
sebelum kedatangan orang Eropa di Tana Toraja.
Demikianlah sekilas sejarah kopi di Sulawesi, mengenai manfaatnya selain sebagai minuman serta bagaimana pengolahan pasca panen akan kita bahas dalam tulisan Kopi. Dari Minuman, Obat Hingga Perang #2.