Minat dan animo pemuda Mandar
terhadap budayanya semakin menggeliat, setidaknya itulah yang nampak pada acara
KEMAH BUDAYA MANDAR 2014 dengan tema “Refleksi Akhir Tahun Budaya Mandar” yang
terselenggara atas kerja sama komunitas Apeq Jannangang dengan Uwake Cultural
Foundation. Perhelatan yang terselenggara di pantai Palippis selama dua hari
dari Sabtu hingga Minggu, tanggal 27 dan 28 Desember 2014 lalu itu dihadiri
oleh beberapa komunitas pemuda yang concern dalam ranah budaya dan kesenian
Mandar serta ada juga yang berasal dari komunitas pecinta alam (KPA). Kegiatan
diisi dengan beberapa materi dan diskusi yang melibatkan beberapa seniman dan
budayawan muda Mandar yang telah menorehkan prestasi terbaik mereka baik
ditingkat regional, nasional bahkan internasional. Sebut saja Muhammad Ridwan
Alimuddin yang telah berkiprah dibidang kebudayaan maritim mandar hingga ke
Brest, Prancis atau Muhammad Ishaq atau dikenal dengan nama Ishaq Jenggot yang
juga telah menorehkan prestasinya hingga ke Australia. Mereka berdua sempat
hadir untuk berbagi ilmu dan wawasan tentang kebudayaan dan berkesenian pada
acara ini.
Kemah budaya yang digarap secara
bersahaja dan menggunakan anggaran dari hasil patungan dana antara peserta dan
panitia ini diikuti oleh beberapa komunitas pemuda dari dua kabupaten yakni
kabupaten Polewali Mandar dan kabupaten Majene. “Tujuan dari penyelenggaraan
kegiatan KEMAH BUDAYA 2014 ini adalah mempertemukan komunitas-komunitas pelaku
maupun pemerhati seni dan kebudayaan Mandar hingga kemudian terjalin komunikasi
dan silaturahmi persaudaraan yang lebih erat. Selain itu ditujukan pula untuk
berbagi pengalaman dan membahas wacana seni dan kebudayaan yang sekiranya
sedang berkembang di masyarakat”. Demikian penyampaian punggawa Uwake Cultural
Foundation sebagai salah satu penyelenggara kegiatan.
“Pelaksanaan Kemah Budaya Mandar
2014 ini sengaja mengambil lokasi di pantai Palippis juga dimaksudkan untuk
membantu pemerintah dalam hal mempromosikan Palippis kembali kepada masyarakat
luas”, demikian keterangan dari Abdul Rasyid yang juga termasuk salah satu
panitia dari komunitas Appeq Jannangang ditemui di tempat yang sama.
Acara ini sekiranya akan dibuka
pada hari Sabtu pukul 16.00 wita. Namun karena menunggu kehadiran beberapa
peserta akhirnya pembukaan baru dapat dilaksanakan pada malam harinya. Setelah
pembukaan berakhir lalu diisi dengan selingan hiburan musik tradisional yang
sangat memukau yang dilakukan oleh remaja usia SMA yang saat ini sedang
mengasah keterampilan musiknya di Uwake, berlanjut kemudian acara malam itu diisi dengan pemaparan materi dari Muhammad
Rahmat Muchtar dengan mengambil judul Antara Kesenian, Wisata, Budaya dan Daya
Tumbuh Komunitas. Materi ini memberi pemahaman kepada peserta bagaimana
fenomena kehadiran sebuah komunitas kesenian dan kebudayaan lahir dari adanya
grup disosial media yang kemudian merasa perlu untuk menampakkan perannya.
Dan
kemudian bagaimana membina komunitas tersebut dengan melakukan konsolidasi
secara kontinyu. Terungkap pula bahwa keberagaman komunitas merupakan sebuah
kekayaan yang harus disyukuri dan perlu untuk menyatukan semangat dalam
mengangkat kesenian dan kebudayaan mandar. Tantangan lain dalam membina
komunitas adalah memanage sumber daya komunitas dalam menyelenggarakan setiap kegiatan.
Pada sesi kedua yang kemudian
diisi oleh Ishaq Jenggot, mengangkat judul Olah Rasa/Kepekaan. Para peserta dihimbau
untuk terus mengasah kemampuan “membaca” fenomena alam serta simbol kearifan
lokal mandar dalam upaya meningkatkan kualitas diri dan spiritual sebagai
makhluk berbudaya. Sungguh apresiasi luar biasa dari peserta terhadap materi
yang satu ini, terlihat antusias peserta menyimak semua keterangan dan
penjelasan yang diberikan oleh narasumber.
Pada pagi harinya, acara kembali
dilanjutkan dengan materi MANDAR TIDAK MEMUNGGUNGI LAUT. Sebuah materi
berwawasan kemaritiman yang dibawa oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dengan
mengusung suasana diskusi interaktif. Kesimpulan yang menarik dari materi ini
adalah bahwa Jauh sebelum presiden Joko Widodo mencetuskan ide poros maritim
beberapa waktu lalu, tradisi masyarakat mandar sudah menyatu dengan tradisi
kemaritiman. Namun kemudian tradisi ini nyaris tidak terekspos oleh karena
kurangnya tulisan dokumentasi, namun setidaknya belakangan ini sudah mulai pula
adanya geliat literasi pada anak muda yang sekiranya nanti bisa
mendokumentasikan kebudayaan mandar untuk kemudian menjadi warisan kepada anak
cucu kita hingga mereka tidak kehilangan jejak akar budayanya. Pada pemaparan
materi tersebut oleh narasumber, sempat pula dibagikan buku masing-masing
kepada tiga penanya pertama. Buku tersebut masing-masing berjudul Kenapa Kita
(belum) Cinta Laut, Orang Mandar Orang Laut, dan Kabar Dari Laut yang kesemuanya
merupakan hasil tulisan dari narasumber sendiri.
Sebuah harapan kiranya kemah
budaya kali ini setidaknya bisa menjadi tonggak untuk kembali menggalakkan
forum komunikasi antara para penggiat dan pemerhati seni dan kebudayaan mandar
seperti halnya kegiatan Arisan Budaya yang dulunya pernah diadakakn dan secara
bergiliran tiap komunitas akan bertindak sebagai tuan rumah.
Seorang peserta bernama
Jalaluddin yang merupakan salah satu anggota dari KPA Denker Majene meminta
kepada panitia agar sekiranya kegiatan ini bisa dilaksanakan lagi lain waktu.
“Bagi kami, kegiatan ini sangat bermanfaat dan tolong...tolong agar kegiatan
ini dilaksanakan lagi dilain waktu. Insya Allah saya mewakili teman-teman KPA
Denker berkomitmen untuk selalu hadir” ujarnya.
Tentang Palippis.
Dalam pelaksanaan Kemah Budaya
Mandar 2014 kali ini, ada hal merisaukan yang masih kami dapati di bibir pantai
Palippis. Apalagi kalau bukan masalah sampah. Sampah kain dan plastik yang
merupakan kiriman dari luar terus membanjiri dan semakin menumpuk di bibir
pantai, khususnya disekitar bangunan perahu batu. Banyak sampah non organik
yang sudah setengah tertimbun pasir hingga dibutuhkan tenaga dan peralatan
ekstra untuk membersihkannya. Melihat kondisi itu, sepertinya pemerintah sudah
harus turun tangan sesegera mungkin sebelum sampah tersebut jadi menggunung.
Menurut saya tarif penggunaan
fasilitas wisata juga ditetapkan asal-asalan. Bayangkan saja, mulai hari Sabtu
sore hingga Minggu sore kami menggunakan baruga pertemuan yang sangat sederhana
bahkan lantainya sudah hampir rapuh ditambah dengan listrik hanya untuk
keperluan pengeras suara dan penerangan satu buah lampu neon serta tiga buah
bilik WC tanpa penyediaan air bersih untuk minum maka kami harus membayar
sebesar Rp. 300.000,-. Ini menurut saya terlalu fantastis jika dibandingkan
dengan fasilitas yang disediakan.
Bagi kami, seharusnya pemerintah
yang menangani atau pihak pengelola harus kembali berfikir dan menyesuaikan
harga dengan fasilitas yang disediakan. Jangan sampai Palippis harus mati untuk
kedua kalinya hanya karena keinginan untuk memenuhi ruang saku lebih besar
daripada kepedulian terhadap potensi wisata daerah kita.