18/12/2014

LOST (Hilang di tepian sungai Mandar).

Menunggu sesuatu hal yang tak pasti memang membosankan, dan untuk membunuh kebosanan maka terciptalah tulisan singkat ini. Tulisan ini mungkin agak sedikit memalukan, dan entah kenapa hasratku tiba-tiba ingin menulis tentang salah satu fragmen hidupku terkait sebuah kampung yang bernama Tinambung.

Tinambung memang tidak begitu akrab dalam hidupku apalagi menjadi tanah kelahiranku. Sebab tuhan dalam keputusan kodratnya memaksa saya untuk lahir disebuah kota kecil yang bernama Wonomulyo, berjarak sekitar kurang lebih 30 Km. dari Tinambung. Tapi kota kecil ini telah menorehkan kenangan yang belum hilang dari ingatanku padahal telah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu.

Bermula dari adanya turnamen sepak bola di lapangan GASWON Wonomulyo yang diselenggarakan antara tahun 1985 atau 1986 (sudah agak lupa waktu tepatnya), kakak lelaki saya yang kedua bermaksud untuk menonton. Mengetahui maksud kakak lelaki saya, saya meminta agar diijinkan untuk ikut ke lapangan untuk menonton turnamen sepak bola tersebut. Namun sayang permintaan tidak diluluskan oleh sang kakak. Meski demikian keinginan untuk ikut tetap saja kuat, mungkin sudah dari sananya memang jika saya harus mendapat apa yang menjadi keinginan saya. Maka berbekal nekad, saya yang waktu itu baru berusia 3 atau 4 tahun ikut dengan diam-diam dibelakang sang kakak yang tentu saja tanpa sepengetahuannya.

Mendekati lapangan tempat turnamen yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah orang tua waktu itu, orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama dengan saya semakin banyak berdesakan dan bisa ditebak jika saya kemudian kehilangan jejak sang kakak.
Entah waktu itu apakah saya sempat menonton pertandingan sepak bola atau tidak sudah tidak jelas lagi dalam ingatan saya. Yang pasti ketika pertandingan usai dan penonton bubar, saya kemudian naik kesebuah mobil angkot dan bermaksud pulang tanpa berfikir bahwa saya hanya berjalan kaki ketika menuju ke lapangan tersebut. Singkat cerita, sang sopir yang membawa saya menyangka jika saya adalah adik atau anak dari salah seorang penumpangnya. Hingga akhirnya semua penumpang turun dan tersisa saya seorang diri. Sang sopir kemudian bertanya kemana arah tujuan saya, namun saya hanya menjawab “jauh”. Setiba di daerah Tinambung tepatnya disalah satu sudut pasar Tinambung yang terletak tidak jauh dari tepian sungai Mandar, sang supir memutuskan untuk menitipkan saya pada seorang penjual cendol dengan harapan ada seseorang yang akan datang mencari saya.

Di tempat berbeda, tepatnya disebuah rumah di jalan Kapten Jumhana no. 80 kesibukan luar biasa terjadi. Sebuah kesibukan yang terbalut kecemasan dan kepanikan, terlihat pula seorang perempuan yang hanya bisa berurai air mata duduk disalah satu tudutnya ditemani beberapa perempuan lain yang juga tak bisa menyembunyikan kesedihan. Kaum lelaki juga tak kalah sibuknya, salah seorang ABRI (saat itu belum berpisah dengan POLRI dan berganti nama menjadi TNI seperti sekarang) menghubungi penjaga pintu air dan memerintahkan untuk menutup aliran sungai Buttu Dakka yang mengarah kealiran irigasi (masyarakat sana menamainya “ledeng”) yang melintasi depan rumah itu setelah beberapa saat sebelumnya menyelam dan menyusuri ledeng tersebut hingga sejauh 300 meter. 
Beberapa orang juga bergerak mencari kesegala arah, motor dan mobil yang saat itu masih terhitung langka dimiliki dan menjadi barang mewah di Wonomulyo secara sukarela dikerahkan oleh pemiliknya untuk melakukan pencarian.

Hingga akhirnya tersiar informasi yang masih kabur namun membawa harapan, bahwa ada seorang anak yang hilang dan dititipkan disebuah warung cendol di pasar Tinambung. Mengetahui informasi itu, tim pencari segera bereaksi dengan cepat dan menelusuri kebenaran informasi. Tak lama kemudian tibalah tim pencari di warung cendol termaksud dan menemukan seorang anak yang memang sementara dicari sedang menikmati segelas cendol yang entah gelas keberapa. Yah anak itu adalah saya sebagaimana cerita sebelumnya.

Setelah mengobrol singkat dengan pemilik warung, tim pencari yang telah berhasil tadi kemudian membawa saya untuk kembali pulang. Di tengah perjalanan, mobil kami berpapasan dengan tim pencari kedua yang mengendarai sepeda motor rupanya hendak menyusul tim pencari pertama. Setelah memastikan bahwa yang ditemukan tadi adalah saya yang memang sedang dicari, kami kemudian beriringan kembali pulang ke rumah. Dan kedatangan kami langsung disambut dengan ucap syukur dan tangis bahagia, terlebih dari ibu saya yang langsung memeluk saya dengan erat.
Sejurus kemudian, ketika suasana euforia pertemuan sudah mulai terkendali. Dengan santainya saya mengeluarkan sepeda roda tigaku dan mengayuhnya berkeliling ruangan dengan menggenggam uang kertas seratus rupiah berwarna merah hadiah kepulanganku. Dengan sepeda roda tiga itulah aku berkeliling tepat di depan orang-orang yang tadi sempat panik dan sibuk, namun wajah-wajah tegang mereka tadi kini telah terganti menjadi wajah riang dan bahagia.

* Sebagian cerita ini ditulis sesuai penuturan orang-orang yang melakukan pencarian saat mengobrol setelah usaha pencarian atas saya berhasil dan kemudian diceritakan oleh orang tua saya.

** Dari cerita ini saya mengambil beberapa pelajaran. Salah satunya adalah ternyata begitu banyak perhatian orang pada saya yang terkadang saya lupakan. Semoga disisa hidup ini, saya dapat pula memberikan perhatian pada mereka yang masih hidup atau setidaknya keturunan mereka bagi mereka yang sudah tiada.

Ada Kalumpang di Tappalang (Sebuah catatan kecil dari Seminar Tapalang Menggugat)

Kecintaan dan kegelisahan generasi muda Mandar akan seni budaya dan sejarah daerahnya semakin menggeliat. Mengusung tema “ Mengangkat Kembali Sejarah, Budaya dan Seni Tapalang Yang Hilang”, komunitas pemuda Parring Bulahang Art dengan dukungan Komunitas Appeq Jannangang (AJ) dan Dalleq Creative Style (DCS) menyelenggarakan sebuah seminar budaya “Tapalang Menggugat” yang diadakan pada hari Minggu (14/12-2014) bertempat di gedung aula PKK kecamatan Tapalang.

Seminar ini dihadiri oleh beberapa tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemerintahan kecamatan Tapalang. Selain itu, seminar ini dihadiri pula oleh perwakilan desa antara lain Oro Batu, Tampalang, Galung, Passaqbu, Takandeang, Tamao, Kasambang, Taang, Limbeng, serta Dayangnginna. Seminar yang berlangsung hingga pukul 14.00 wita ini dihadiri dan dibuka secara resmi oleh Sekertaris kecamatan Tappalang H. Agus Abdullah BS. Hadir pula dalam acara ini pemuda-pemuda dari kabupaten Polewali Mandar dan Majene. Sekitar 20 orang pemuda yang tergabung dalam komunitas Mandar Comunity 01 dan kurang lebih 10 orang anggota dari komunitas pemerhati seni budaya, sejarah maupun wisata Mandar, Appeq Jannangang (AJ) ikut serta hadir menyemarakkan acara seminar Tapalang Menggugat ini.

Jalannya seminar.
Meskipun terbilang amat sangat sederhana, namun kegiatan seminar Tapalang Menggugat mendapat animo yang luar biasa dari peserta khususnya pemuda Tappalang. Hal ini terbukti dari peserta yang hadir berjumlah kurang lebih seratus orang dan menyesaki gedung PKK kecamatan Tappalang yang berukuran sederhana.
Yah, ibukota kecamatan Tappalang memang tampak sangat sederhana jika tidak mau dikatakan tertinggal dalam segi pembangunan infrastruktur. Bahkan salah seorang teman saya sempat berceloteh jika keadaan infrastruktur desa Pambusuang di kecamatan Balanipa lebih baik daripada ibukota kecamatan Tappalang ini. Kantor camat dan gedung PKK tempat acara berlangsung sendiri masih merupakan gedung warisan kolonial Belanda sebagaimana keterangan salah seorang panitia yang ditemui di tempat terpisah.

Secara umum kegiatan ini berlangsung semarak dalam suasana kekeluargaan meskipun saat dimulai sempat molor hingga 90 menit dari jadwal seharusnya dikarenakan menunggu kedatangan Camat Tappalang yang sekiranya hadir untuk membuka acara namun ternyata tidak sempat hingga harus mewakilkannya kepada Sekertearis kecamatan H. Agus Abdullah BS. Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang berlangsung hikmat dan namun penuh penghayatan, penulis sendiri sempat merinding saat ikut menyanyikan lagu kebangsaan kita ini. Berturut kemudian sambutan ketua panitia yang dalam sambutannya sempat menyebutkan isi dari ikrar Tammejarra, sambutan dan pembukaan acara seminar Tapalang Menggugat oleh Sekcam Tappalang yang mewakili kepala kantor kecamatan Tappalang, dan kemudian istirahat sambil ditemani hiburan musik akustik dari personil Parring Bulahang Art.

Setelah acara istirahat, seminarpun memasuki acara inti yang dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi dengan pemaparan sejarah Tappalang dari beberapa narasumber dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.

Ada banyak harapan yang tertuju pada pelaksanaan seminar Tapalang Menggugat kali ini, setidaknya itu yang saya tangkap dari keterangan beberapa nara sumber dan peserta yang mengemuka saat acara berlangsung. “Tujuan seminar adalah mengangkat kembali nilai-nilai sejarah dan budaya Tapalang yang seolah-olah terlupakan. Padahal tak bisa dipungkiri bahwa Tapalang dulunya adalah sebuah kerajaan yang menjadi bagian dari konfederasi Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babbana Binanga. Berdampingan dengan kerajaan Balanipa, Banggae, Pamboang, Sendana, Mamuju dan Binuang serta tujuh kerajaan dari mandar di pegunungan (PUS). Berdasar dari kegeliasan itulah maka diharapkan melalui seminar ini, kembali ditemukan benang merah yang menghubungkan generasi muda keturunan Nene Tambuli Bassi dengan asal usul kebudayaan dan kearifan lokalnya yang saat ini mulai terkikis. Demikian keterangan ketua panitia Ahriadi AS.dalam sambutannya.

“Seminar seperti ini seharusnya bemuara, setidaknya setelah seminar berakhir akan lahir sebuah buku yang meluruskan tentang sejarah Tappalang. Dan semoga melalui kegiatan ini, mulai difikirkan untuk kembali membentuk pemangku adat yang nantinya akan menunjuk dan melantik seorang Maraddika Tappalang. Tappalang juga seharusnya memiliki bangunan rumah adat, sebab dahulu Tappalang tidak diintervensi oleh kerajaan manapun”. Ini adalah keterangan Amran, salah seorang tokoh masyarakat dari wilayah Dayangnginna.

Dalam seminar ini sempat pula dikritisi penulisan nama Tapalang yang sering muncul, dan bahkan tertulis pada baliho kegiatan. Dan terungkap bahwa di dalam lontar yang sering menjadi acuan sejarah tertulis nama Tappalang, demikian pula dalam cerita tutur yang menyebutkan Tappalang dan bukan Tapalang. Hingga dalam tulisan ini, terpaksa penulis menuliskan dua versi. Penulisan nama Tapalang menandakan jika tulisan itu tertera pada media promosi panitia atau merupakan ucapan seorang sumber, sedang Tappalang (dengan dobel “P”) menandakan berasal dari penulis.

Mempertimbangkan waktu serta materi yang akan dibahas merupakan hal yang butuh pembahasan panjang. Maka pihak panitia memutuskan bahwa pada kesempatan kali ini hanya membahas sejarah, adapun sisi budaya dan seni daerah Tappalang akan dibahas pada seminar selanjutnya yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Maret 2015 yang akan datang.
Yang unik dan yang mahal dari Tappalang.

Ada hal yang menarik dan sempat membuat saya penasaran pada awalnya tentang suguhan menu makan siang yang disampaikan panitia sesaat sebelum acara makan siang yaitu “kalumpang”. Kalumpang dalam pengetahuan awal saya adalah nama salah satu daerah yang diyakini sebagai daerah awal peradaban Mandar dimana pada pekan ini sedang sibuk pula dengan kegiatan budaya yang bertajuk TANAH LOTONG MEMANGGIL”. Hingga kemudian menu makan siang dibagikan, barulah saya mengetahui bahwa yang dimaksud kalumpang oleh panitia seminar adalah makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari sagu yang dipanggang. Pada umumnya mandar Balanipa menyebutnya dengan jepa katong atau jepa sagu. Pada kesempatan ini, menu kalumpang didampingi dengan lauk bau peapi (ikan masak kuah kuning) yang juga sedikit berbeda dengan bau peapi pada umumnya di Mandar sebab tidak menggunakan bawang mandar sebagai salah satu bumbunya. Untuk menggantikan bawang mandar, digunakan irisan bawang merah. Meskipun pada dasarnya perut saya tidak akrab dengan makanan pokok pengganti nasi dari jenis apapun yang bertujuan utuk mengenyangkan, namun tidak mengurangi minat saya menyantap menu yang satu ini.

Mengingat masih ada waktu yang tersisa setelah acara seminar, maka saya diajak oleh seorang teman untuk iseng-iseng berburu bongkahan batu permata yang menjadi salah satu kekayaan alam Tappalang. Dan berangkatlah kami berempat menuju sebuah lokasi yang ditengarai memiliki kandungan batu permata. Selama kurang lebih 1 jam kami berburu, kami berhasil menemukan kurang lebih 2 kg. bongkahan batu permata dari jenis natural calcedony atau dalam bahasa lokal dinamakan panno-panno yang menurut salah seorang yang saya hubungi merupakan batu idola yang saat ini sedang naik daun dalam kancah batu permata nasional dan Tappalang satu-satunya daerah yang memiliki kekayaan batu permata dari jenis ini. Selain natural calcedony, kami juga menemukan jenis bongkahan batu permata lainnya. Sungguh jika sumber kekayaan alam ini dikelola dengan bijaksana, maka niscaya akan menambah sumber mata pencaharian masyarakat lokal Tappalang.


Sekian tulisan singkat mengenai seminar Tapalang Menggugat bagian pertama ini, semoga seminar ini bisa menjadi pemacu dan pemicu generasi muda khususnya Tappalang untuk kembali mempelajari sejarah dan budaya yang menjadi ajaran luhur kearifan lokal. Serta pemerintah yang mungkin sudah bisa melirik daerah ini untuk melakukan progres pembangunan infra struktur agar tercipta pembangunan yang merata.

* Tulisan ini dimuat pada harian Radar Sulbar edisi Rabu, 17 Desember 2014 dengan judul Tappalang, Bukan Tapalang dan "Kalumpang" di Tappalang.

SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA

Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...