Menunggu sesuatu hal yang tak pasti memang membosankan, dan
untuk membunuh kebosanan maka terciptalah tulisan singkat ini. Tulisan ini
mungkin agak sedikit memalukan, dan entah kenapa hasratku tiba-tiba ingin
menulis tentang salah satu fragmen hidupku terkait sebuah kampung yang bernama
Tinambung.
Tinambung memang tidak begitu akrab dalam hidupku apalagi
menjadi tanah kelahiranku. Sebab tuhan dalam keputusan kodratnya memaksa saya
untuk lahir disebuah kota kecil yang bernama Wonomulyo, berjarak sekitar kurang
lebih 30 Km. dari Tinambung. Tapi kota kecil ini telah menorehkan kenangan yang
belum hilang dari ingatanku padahal telah terjadi lebih dari 20 tahun yang
lalu.
Bermula dari adanya turnamen sepak bola di lapangan GASWON
Wonomulyo yang diselenggarakan antara tahun 1985 atau 1986 (sudah agak lupa
waktu tepatnya), kakak lelaki saya yang kedua bermaksud untuk menonton.
Mengetahui maksud kakak lelaki saya, saya meminta agar diijinkan untuk ikut ke
lapangan untuk menonton turnamen sepak bola tersebut. Namun sayang permintaan
tidak diluluskan oleh sang kakak. Meski demikian keinginan untuk ikut tetap
saja kuat, mungkin sudah dari sananya memang jika saya harus mendapat apa yang
menjadi keinginan saya. Maka berbekal nekad, saya yang waktu itu baru berusia 3
atau 4 tahun ikut dengan diam-diam dibelakang sang kakak yang tentu saja tanpa
sepengetahuannya.
Mendekati lapangan tempat turnamen yang hanya berjarak
sekitar 300 meter dari rumah orang tua waktu itu, orang-orang yang mempunyai
tujuan yang sama dengan saya semakin banyak berdesakan dan bisa ditebak jika
saya kemudian kehilangan jejak sang kakak.
Entah waktu itu apakah saya sempat menonton pertandingan
sepak bola atau tidak sudah tidak jelas lagi dalam ingatan saya. Yang pasti
ketika pertandingan usai dan penonton bubar, saya kemudian naik kesebuah mobil
angkot dan bermaksud pulang tanpa berfikir bahwa saya hanya berjalan kaki
ketika menuju ke lapangan tersebut. Singkat cerita, sang sopir yang membawa
saya menyangka jika saya adalah adik atau anak dari salah seorang penumpangnya.
Hingga akhirnya semua penumpang turun dan tersisa saya seorang diri. Sang sopir
kemudian bertanya kemana arah tujuan saya, namun saya hanya menjawab “jauh”.
Setiba di daerah Tinambung tepatnya disalah satu sudut pasar Tinambung yang
terletak tidak jauh dari tepian sungai Mandar, sang supir memutuskan untuk
menitipkan saya pada seorang penjual cendol dengan harapan ada seseorang yang
akan datang mencari saya.
Di tempat berbeda, tepatnya disebuah rumah di jalan Kapten
Jumhana no. 80 kesibukan luar biasa terjadi. Sebuah kesibukan yang terbalut
kecemasan dan kepanikan, terlihat pula seorang perempuan yang hanya bisa
berurai air mata duduk disalah satu tudutnya ditemani beberapa perempuan lain
yang juga tak bisa menyembunyikan kesedihan. Kaum lelaki juga tak kalah
sibuknya, salah seorang ABRI (saat itu belum berpisah dengan POLRI dan berganti
nama menjadi TNI seperti sekarang) menghubungi penjaga pintu air dan
memerintahkan untuk menutup aliran sungai Buttu Dakka yang mengarah kealiran
irigasi (masyarakat sana menamainya “ledeng”) yang melintasi depan rumah itu
setelah beberapa saat sebelumnya menyelam dan menyusuri ledeng tersebut hingga
sejauh 300 meter.
Beberapa orang juga bergerak mencari kesegala arah, motor dan
mobil yang saat itu masih terhitung langka dimiliki dan menjadi barang mewah di
Wonomulyo secara sukarela dikerahkan oleh pemiliknya untuk melakukan pencarian.
Hingga akhirnya tersiar informasi yang masih kabur namun
membawa harapan, bahwa ada seorang anak yang hilang dan dititipkan disebuah
warung cendol di pasar Tinambung. Mengetahui informasi itu, tim pencari segera
bereaksi dengan cepat dan menelusuri kebenaran informasi. Tak lama kemudian
tibalah tim pencari di warung cendol termaksud dan menemukan seorang anak yang
memang sementara dicari sedang menikmati segelas cendol yang entah gelas
keberapa. Yah anak itu adalah saya sebagaimana cerita sebelumnya.
Setelah mengobrol singkat dengan pemilik warung, tim pencari
yang telah berhasil tadi kemudian membawa saya untuk kembali pulang. Di tengah
perjalanan, mobil kami berpapasan dengan tim pencari kedua yang mengendarai
sepeda motor rupanya hendak menyusul tim pencari pertama. Setelah memastikan
bahwa yang ditemukan tadi adalah saya yang memang sedang dicari, kami kemudian
beriringan kembali pulang ke rumah. Dan kedatangan kami langsung disambut
dengan ucap syukur dan tangis bahagia, terlebih dari ibu saya yang langsung
memeluk saya dengan erat.
Sejurus kemudian, ketika suasana euforia pertemuan sudah
mulai terkendali. Dengan santainya saya mengeluarkan sepeda roda tigaku dan
mengayuhnya berkeliling ruangan dengan menggenggam uang kertas seratus rupiah berwarna
merah hadiah kepulanganku. Dengan sepeda roda tiga itulah aku berkeliling tepat
di depan orang-orang yang tadi sempat panik dan sibuk, namun wajah-wajah tegang
mereka tadi kini telah terganti menjadi wajah riang dan bahagia.
* Sebagian cerita ini ditulis sesuai penuturan orang-orang
yang melakukan pencarian saat mengobrol setelah usaha pencarian atas saya
berhasil dan kemudian diceritakan oleh orang tua saya.
** Dari cerita ini saya mengambil beberapa pelajaran. Salah
satunya adalah ternyata begitu banyak perhatian orang pada saya yang terkadang
saya lupakan. Semoga disisa hidup ini, saya dapat pula memberikan perhatian
pada mereka yang masih hidup atau setidaknya keturunan mereka bagi mereka yang
sudah tiada.