Negeri seribu cerita.
Sebagai negeri tua, Lambanan
tentu tidak lepas dari cerita dan tempat-tempat berbau mistik. Selain dari yang
telah disebutkan sebelumnya, Lambanan masih memiliki beberapa tempat dengan
ceritanya masing-masing.
Lambusang adalah tempat dimana orang-orang yang baru
akan memasuki desa Lambanan harus meletakkan batu kecil. Peletakan batu kecil
tersebut dianggap sebagai permohonan izin untuk memasuki perkampungan desa
Lambanan, kepada sosok “penjaga” perbatasan. Menurut cerita, sungai yang berada
di dekat rumah-rumahan di mana batu tersebut biasanya diletakkan, dihuni oleh
sosok wanita cantik yang dulunya berprofesi sebagai penari di kerajaan
Balanipa.
Hingga suatu saat, entah bagaimana ceritanya sehingga sang penari
tersebut terjatuh ke sungai hingga hanyut dan jenazahnya tidak pernah ditemukan
hingga hari ini. Nah konon, arwah wanita penari ini sering menampakkan diri, ia
akan mengganggu pelintas yang tidak meletakkan batu. Namun nampaknya kisah ini
sudah tidak berlaku saat ini, sebab ketika kami memasuki perkampungan desa
Lambanan tak satupun dari kami yang meletakkan batu kecil. Tapi alhamdulillah,
tak terjadi apa-apa terhadap kami. Wallahu a’lam bissawab.
Sumur Pandaq adalah sumur tua
yang juga ada di Lambanan, karena di tempat itu terdapat tiga buah sumur yang
saling berdekatan, sehingga sumur tersebut juga kadang disebut dengan passauan
tallu (tiga sumur). Menurut keyakinan beberapa orang, bahwa mandi atau mencuci
muka di sumur ini bisa memudahkan dalam urusan jodoh, dan konon sudah terbukti
pada beberapa orang. Sehingga oleh sebagian orang, sumur ini juga dinamai
dengan sumur jodoh.
Dari ketiga nama itu, mungkin passauang tallu (sumur tiga)
dan sumur jodoh adalah nama yang sudah diketahui dasar penamaannya. Berikut ini
adalah cerita kenapa sumur ini disebut juga passauang Pandaq. Dahulu kala
ketika musim kemarau melanda desa Lambanan, oleh rapat para sesepuh maka
diputuskan untuk menggali sebuah sumur yang sekiranya akan dimanfaatkan sebagai
sumur umum, dan ditentukan pulalah titik lokasi penggalian sumur tersebut.
Beberapa kali alat gali ditancapkan, maka keluarlah sedikit mata air. Namun
kemudian semakin dalam penduduk menggali, debit air bukannya bertambah tapi
malah semakin berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Kemudian titik
penggalian dipindahkan ke tempat yang tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter
dari titik gali sebelumnya. Namun kejadian serupa kembali terjadi, hingga titik
gali kembali dipindahkan. Sayang, kejadian yang pertama pun kembali terulang
hingga ketiga kalinya.
Melihat kejadian ini, tampillah seorang penduduk yang
mencoba untuk mengadakan kembali mata air yang hilang dari sumur yang telah
digali tersebut. Ia pun pergi kesungai Ulu Mandaq yang ada jauh di pedalaman
Majene sekarang. Ia mengambil air sungai dengan menggunakan selembar daun yang
dibentuk kerucut mirip dengan corong untuk menampung air tersebut.
Sekembalinya
di Lambanan, ia pun menuju ke tempat sumur yang sudah digali namun tidak
mengeluarkan air tadi dan melakukan ritual memanggil air dari Ulu mandaq dengan
sarana air sungai yang sebelumnya ia ambil. Alhasil, ketiga galian tadi pun
perlahan-lahan mengeluarkan mata air dengan debit yang cukup memenuhi
kebutuhuan warga lambanan. Debit air di sumur inipun tidak pernah kering meski
kemarau sedang panjang. Dan dari situlah orang tadi kemudian lebih dikenal
dengan nama I Pandaq, dan ketiga galian sumur tadi diberi nama sumur Pandaq
atau passauang pandaq. Wallahu a’lam bissawab.
Selain itu, di lambanan juga
terdapat kompleks pemakaman yang salah satu makamnya diyakini sebagai makam I
Lamber Susu yang merupakan keturunan dari Pongka Padang, leluhur sekaligus
cikal bakal manusia di Mandar. Konon dinamai I Lamber Susu sebab beliau memiliki
(maaf) payudara yang panjang, hingga jika ia akan menyusui anaknya maka
payudaranya akan diselempangkan dipundak hingga (maaf) putingnya bisa diraih
dan disusui oleh anaknya dari belakang. Wallahu a’lam bissawab.
Demikianlah kisah dari Lambanan
yang kami peroleh dari perjalanan singkat yang kami lakukan beberapa waktu
lalu. Semoga apa yang kami tuliskan bisa membuka wawasan kita tentang keunikan
salah satu yang ada di Polewali Mandar. Serta mengajak kita untuk menggali
kembali beberapa kearifan lokal dalam simbol yang dihadirkan dalam beberapa
ritual religius maupun cerita – cerita yang mungkin berbau mitos.
Dengan penuh
kerendahan hati kami akui jika dalam tulisan-tulisan kami masih terdapat banyak
kekurangan dan besar harapan kami jika sekiranya ada yang berkenan memberi
masukan kepada kami mengenai tulisan ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan
terima kasih.