Celebess adalah blogspot yang berisi informasi unik sekitar sejarah dan budaya masyarakat Sulawesi
25/08/2013
Berada tepat di jantung kota kecamatan Wonomulyo yang oleh masyarakat dulu lebih dikenal sebagai Kappung Jawa, berdirilah sebuah pasar tradisional yang dinamakan pasar Wonomulyo. Sebuah pasar yang dikenal oleh sebagian kalangan anak muda Wonomulyo pasca tragedi pemboman menara WTC di Amerika, sebagai WTC pula yang merupakan akronim dari Wonomulyo Trade Center. Tentu saja nama ini bukanlah nama resmi. Pasar Wonomulyo memiliki sejarah cukup panjang sebagai salah satu bagian pemuas hasrat berbelanja bagi masyarakat sekitarnya. Dimulai dengan kedatangan rombongan transmigran yang berasal dari Jawa Tengah di Mapilli yang dimulai tahun 1934 (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Wonomulyo,_Polewali_Mandar), maka dua tahun kemudian dibangunlah pasar Wonomulyo. Yang bersamaan dengan pembangunan masjid Merdeka Wonomulyo, Pendopo, alun-alun yang kemudian diberi nama lapangan GASWON dan sebentar lagi akan berubah pula menjadi taman kota.
Menurut pengamatan penulis, sampai saat ini “WTC” masih menjadi syurga bagi para pedagang dan pembeli baik mereka yang berasal dari kalangan menengah hingga kalangan bawah. Segala rupa kebutuhan masyarakat tersedia, baik kebutuhan primer sehari-hari maupun kebutuhan sekunder. Pada awalnya, pasar ini hanya melingkupi wilayah yang dibatasi jalan R. Soeparman di sebelah barat, jalan Padi unggul 1 disebelah timur, jalan Jenderal Sudirman di sebelah utara serta sebuah jalan yang penulis tidak tahu apakah merupakan bagian jalan Brawijaya atau bagian jalan Gatot Subroto disebelah utara.
Pasar ini kemudian diperluas pada akhir tahun 90an, dengan penambahan di bagian sebelah utara yang sekarang dikenal dengan pasar ikan sebab di salah satu bagian itulah dipusatkan segala urusan jual beli daging-dagingan dari ikan, ayam, maupun daging sapi. Meski masih saja ada pedagang yang nakal dengan menjajakan ikan di bagian pasar lama, dengan cara sembunyi-sembunyi dari petugas pasar tentunya. Untuk para konsumen sayuran maupun pedagang tingkat bawah, ada waktu tersendiri untuk mendapat harga yang relatif murah serta pilihan sayuran yang masih segar yaitu pasar subuh. Pasar subuh ini lokasinya masih di pasar Wonomulyo yaitu dipelataran pasar ikan, dahulu ditahun 1998 penulis sering membawa cabe atau kacang panjang untuk dijual pada pagi buta yaitu sekitar jam 3 dan kegiatan transaksi di sini biasanya berlangsung hingga jam 7 pagi saat toko-toko mulai buka, maka dari itu disebutlah sebagai pasar subuh.
Untuk urusan pakaian atau perabot rumah tangga, keragaman model di pasar ini pun tidak terlalu jauh tertinggal dengan model-model ibukota. Ini disebabkan oleh kelancaran transportasi angkutan sehingga para pedagang biasanya mengambil barang langsung dari pusat penjualan konveksi dan pecah belah di pulau jawa seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya.
Aktifitas perdagangan di Wonomulyo belakangan semakin diramaikan pula oleh hadirnya pasar modern model mini/super market. Disinilah sebagian mereka yang berasal dari kalangan berduit atau mereka yang sekedar mengejar gengsi berbelanja.
Selain dari keragaman jenis barang dan tempat pertemuan para pelaku usaha dari berbagai etnis dan daerah, ada sebuah fenomena yang kurang enak menurut saya meskipun barangkali itu adalah ekses dari ramainya sebuah kota yakni kesemrawutan tata ankutan dan lalu lintas yang persis berada disatiap sisi lokasi pasar ini. Coba saja berkunjung pada hari Minggu atau Rabu pagi, dimana kedua hari ini adalah hari pasaran di pasar ini dan lihatlah kemacetan di jalan R. Soeparman atau jalan Padi unggul yang ada disisi Barat dan Timur, atau jalan yang ada di sisi Utara pasti akan terlihat kemacetan yang kadang menaikkan tensi emosi. Belum lagi mobil-mobil kanvas yang seenaknya parkir dan menurunkan barang di jalan padi Unggul semakin memperparah kemacetan.
Semoga Wonomulyo sebagai pilar ekonomi utama di kabupaten Polewali Mandar kedepannya bisa semakin maju namun tidak melupakan akarnya sebagai pasar tradisional, tempat rakyat kecil mencari sesuap nasi. Dan kemajuan itu seiring dengan ketertiban para pelaku pasar dan pengguna jalan disekitar WTC yang tercinta.....
BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI, Itulah nama dari anyaman bambu khas dari jazirah Sulawesi
bagian selatan dan barat. Anyaman bambu yang teridiri dari dua atau tiga bilah
bambu dan dibuat dengan berbagai bentuk sesuai peruntukannya, seperti misalnya
sebagai wadah hantaran dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita
yang diisi dengan berbagai macam buah, atau sebagai pembatas pelaminan antara
mempelai dengan undangan, dan atau sebagai ornamen pada pintu gerbang dalam
ritual adat perkawinan. Selain pada acara perkawinan adat, pada suku tertentu
bala suji juga terkadang digunakan untuk meletakkan orang meninggal sebelum
dibawa kepekuburan, kadang juga bala suji digunakan saat ritual kelahiran
seorang bayi dimana bala suji di tempatkan dibawah kolom rumah yang sejajar
dengan tempat sang ibu melahirkan.
Menurut namanya, lawa soji dalam bahasa bugis atau bala
suji dalam bahasa mandar meski memiliki penyebutan yang berbeda namun mempunyai
pengertian yang sama yaitu Lawa yang berarti pembatas dan suji yang berasal
dari bahasa bugis kuno dan disebutkan di dalam Lontara I Lagaligo yang berarti
agung atau suci. Sehingga secara umum bisa dikatakan bahwa lawa suji adalah
sebuah pagar yang dibuat untuk memagari sesuatu yang sifatnya bersih, suci atau
agung. Dalam membuat lawa suji/bala suji, bilah bilah bambu yang telah dipotong
kemudian dianyam secara diagonal dengan jarak tertentu hingga akan terbentuk
belah ketupat sehingga dikatakan bahwa bentuk lawa suji ini tidak bisa
dilepaskan dari kepercayaan mikrocosmos masyarakat sulawesi selatan dan barat
tentang sulapa eppa/sulapa appe yang memuat ajaran sosiokultural dan spritual.
Bentuk.
Balasuji dibuat dari bilah bambu yang tidak terlalu tipis
dan dianyam secara diagonal dengan ukuran jarak tertentu sehingga akan meciptakan
lubang simetris diantara anyamannya yang berbentuk segi empat atau belah
ketupat. Menurut penuturan ayahanda penulis, bahwa dahulu di kerajaan Belawa
(sebuah anak kerajaan Wajo) jumlah bilah bambu pada anyaman bala suji
menunjukkan strata dan kasta dari yang punya hajatan. Untuk kalangan bangsawan
menggunakan tiga bilah bambu yang dianyam sejajar dengan menempatkan bilah yang
memiliki kulit yang diapit dengan bilah bambu yang kulitnya telah dibuang
dikedua sisi bilah bambu berkulit tadi sehingga menampilkan warna khas krem,
hijau,krem jika menggunakan bambu hijau atau krem, kuning, krem jika
menggunakan bambu tua/bambu kuning. Ini menggambarkan tentang seorang raja yang
memiliki penampilan lebih menarik, kuat, bersifat melindungi (kulit bambu lebih
kuat dan melindungi bagian dalam bambu)
berada di tengah dan diapit oleh rakyat atau pengawalnya. Sementara untuk orang
biasa menggunakan anyaman dua, dengan cara dua bilah bambu yang salah satunya
berkulit dan yang satunya tidak di anyam sejajar sama dengan anyaman yang
menggunakan tiga bilah bambu. Ini melambang bahwa siempunya acara bukan
pemimpin dan tidak punya pengawal, sementara untuk kalangan budak tidak
menggunakan lawa suji.
Makna.
Selain makna dari jumlah anyaman bilah bambu, lawa suji
juga memiliki banyak versi tentang makna dari bentuk anyamannya yang membentuk
belah ketupat, antara lain
diantaranya:
1.
Zat pembentuk tubuh
-
API
-
ANGIN
-
AIR
- TANAH
2.
Keberadaan manusia dalam alam dunia
-
Pemahaman manusia terhadap penciptaan dirinya.
-
Pemahaman hubungan manusia dengan tuhannya.
-
Pemahaman hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
- Pemahaman manusia terhadap
pemimpinnya.
3.
Shalat/sambayang
-
BERDIRI
-
RUKUK
-
SUJUD
- IqTIDAL
4.
Pembentuk darah sesuai dengan fungsinya.
-
Darah merah untuk menggerakkan tubuh.
-
Darah hitam untuk menguatkan tubuh.
-
Darah putih untuk pertahanan tubuh.
- Darah kuning untuk
memperbaiki/menyembuhkan tubuh pada saat luka.
5.
Siklus kehidupan manusia.
-
Lahir
-
Syukuran/ritual/ibadah harian.
-
Perkawinan
- Kematian
Dan barangkali masih ada versi lain, tergantung dari
masing-masing orang yang menafsirkannya.
Dalam pada ini terkadang muncul sebuah pertanyaan, kenapa
harus menggunakan bambu dan buka rotan atau yang lain?.
Ada beberapa philosofi tersendiri hingga kenapa bahan
pembuatan balasuji ini jatuh pada bambu antara lain:
1. Bambu
adalah tumbuhan serba guna yang banyak digunakan oleh masyarakat umum, ini
bermakna bahwa semoga orang-orang yang memahami balasuji bisa menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat umum dilingkungannya.
2. Bambu
adalah tumbuhan berbatang bulat, yang mana kulit bagian luar batang bambu lebih
keras daripada bagian dalamnya. Ini mengandung makna bahwa masing-masing dari keempat
sisi pada balasuji harus saling menjaga dan bersatu dalam mufakat pada setiap
kegiatan yang akan dilakukan.
3. Batang
bambu memiliki sifat liat dan lentur, ini mengandung makna agar kita seharusnya
menjadi orang yang ulet, gigih namun tetap dinamis dalam menghadapi dinamika
hidup.
4. Tunas
bambu muda dapat menjadi bahan makanan, ini bermakna bahwa manusia sulawesi pada masa kecilnya bisa
membawa kebahagiaan dan keceriaan bagi keluarga dan lingkungannya namun
sekaligus dapat menjadi pelindung setelah ia beranjak dewasa.
Demikian sekelumit tulisan tentang balasuji/lawasoji, tentu tulisan yang sangat sedikit ini belum bisa mengurai semua arti dari balasuji yang sangat sarat makna. Namun demikian, semoga makna dari philosofi balasuji yang telah dipaparkan diatas, dapat menjadi bekal kita untuk menjadi manusia yang bisa menghargai jasa para leluhurnya.
Gambar balasuji/lawasoji
untuk wadah hantaran pada ritual pernikahan suku Bugis/Mandar
Langganan:
Postingan (Atom)
SELEKSI IKRA INDONESIA KEMBALI DIGELAR, KOPI CAP MARADDIA MAJU JADI PESERTA
Pembukaan Seleksi Ikra Indonesia 27/2/2024 Kopi kita boleh beda, tapi Indonesia kita tetap satu. Sebuah kalimat pembuka yang aku ucap saat m...

-
Bawa di arangan (mellullung kaeng lotong) 2x Mattattangai ToPole Dzi Balitung Apamo puti-putiqna (topole Dzi Balitung) 2x Tuppuang ...