MENELUSUR PENULISAN SEJARAH MANDAR


(Telaah Sejarah Mandar)

Oleh : Muhammad Munir
Aktif di Komunitas Appeq Jannangang
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulbar

Pengantar

Sepanjang tahun 2015 ini, saya melihat ada sebuah ghirah yang muncul dari pelaku dan pemerhati budaya dan sejarah Mandar dan tentu saja ini merupakan sebuah kondisi yang mesti dijadikan sebagai momentum untuk lebih bangga menjadikan Mandar sebagai identitas kita. Mengapa Mandar harus menjadi identitas kita, sebab Mandar disamping sebagai wilayah administratif dari Paku hingga Suremana yang juga disebut provinsi Sulawesi Barat, juga adalah sebuah sistim nilai yang turun temurun dilestarikan dalam tuturan dan tulisan.

Identitas itu mungkin diaktualkan secara beragam, misalnya Uwake’ Culture Fondation, Kompadansa Mandar, atau Appeq Jannangang dll.,dengan sederet kegiatan yang formatnya berbeda-beda, seperti Festifal Sungai Mandar, Perpustakaan Rakyat Sepekan, Halaqah Budaya, pertunjukan-pertunjukan seni tradisional sampai kepada Baqgo atau Perahu Pustaka Pattingalloang ala Muhammad Ridwan Alimuddin, Bendi Pustaka ala Muhammad Rahmat Muchtar, dan yang tak kalah menariknya adalah peluncuran Aplikasi Lontaraq Digital besutan Zulfihadi (Zul Elang Biru) dari Komunitas Appeq Jannangang. Yang kesemuanya itu adalah bentuk aksentasi dan aktualisasi yang tidak saja menjadikan Mandar ini ada, tapi sekaligus diakui.
Hal baru yang juga menjadi spirit dari munculnya ghirah generasi Mandar itu adalah dengan dikukuhkannya Darmasyah (Ketua DPRD Majene) sebagai Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulbar yang dikukuhkan langsung oleh Muhlis Paeni (Ketua Umum MSI Pusat) pada tanggal 16 Mei 2015 di Villa Bogor Majene. Dengan MSI Sulbar dan kegigihan seorang Darmansyah yang intens dalam kerja-kerja budaya dan diskusi sejarah baik itu di Majene maupun di Polewali Mandar, maka lengkap sudah lembaga untuk mewadahi semua kegiatan sejarah dan kebudayaan Mandar untuk tetap lestari, tidak saja menjadi gumam atau sugiging ditempat, tapi sekaligus menjadi teriakan yang terdengar tidak saja di Mandar, tapi merambah segala pelosok dan penjuru dunia.

Kebudayaan dan sejarah ini adalah sebuah kesatuan yang utuh dan integral yang tak mungkin mampu kita pisahkan secara absolut, sebab kenyataannya kebudayaan apa saja yang dibelahan bumi ini selalu dicatat oleh sejarah. Sejarah akan selalu setia menunggu, mencatat setiap jengkal perubahan, pergeseran dan bahkan pergesekan sekalipun. Hal yang sama, kita harapkan dari semua elemen masyarakat penggiat, pencinta dan pelaku kebudayaan Mandar dalam setiap kegiatannya bersinergi dengan MSI dalam menuliskan semua hal yang terjadi itu, sebagai manifestasi bagi generasi kita selanjutnya.

Menulis Sejarah

Membincang Mandar sebagai sebuah objek, selalu memungkinkan banyak orang untuk menginterpretasinya secara berbeda dan beragam dalam penulisan sejarah. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebab di Mandar itu sendiri belum melahirkan sebuah konsep seragam tentang Mandar yang sebenarnya. Sejarah yang kita pahami selama ini merupakan hasil tafsir manusia terhadap fakta sejarah yang tersusun rapih dalam lembaran-lembaran teks. Dan sangat mungkin kehadiran sejarah dalam sebuah teks tidak pernah membawa konteks yang melingkupinya. Artinya, ketika sejarah mulai ditulis, dalam waktu bersamaan konteks realitas lepas dari padanya. Kehadiran teks dihadapan pembaca seyogyanya memahami dan mengkaji konteks yang melahirkan teks tersebut. Karena ketika seorang pembaca melepaskan diri dari konteks, maka yang muncul adalah sikap ahistoris.

Kecenderungan lain yang juga sangat memungkinkan adalah kehadiran sejarah sebagai proses legitimasi terhadap kepentingan tertentu. Bahkan sejarah dibuat hanya untuk meneguhkan kepentingan penguasa dan kelompok dominan. Dan tidak heran jika kemudian kita melihat dan mendengar penguasa tiba-tiba menjadi “sejarawan” dan lalu menulis sejarah sesuai dengan nalurinya. Misalnya, sejarah tentang PKI di Indonesia yang ditulis atas perintah penguasa Orde Baru. Serta buku-buku sejarah yang menjadi bacaan khusus di setiap lembaga pendidikan formal merupakan hasil konstruksi Orde Baru.

Untuk proses itu, sejarah harus selalu kita tulis, untuk memberi jawaban dan bukti-bukti sebagai bentuk rekonstruksi masa lalu. Sejarah dibutuhkan untuk merekonstruksi apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang. Olehnya itu, perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Tantangan kedepan membutuhkan sejarah sebagai pengawal setiap idea of progres.

Jika ilmu sejarah tidak tangguh untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan menghilangkan kesadaran penghuni zamannya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak yang identik dengan (meminjam kalimat Pak Darmansyah dalam setiap diskusi) orang yang pikung

Sejarah Mandar

Tentang sejarah Mandar, bukanlah sebuah rahasia lagi ketika menemukan perbedaan muatan sejarah dalam berbagai literatur, “ Tidak ada yang otentik tentang sejarah Mandar selain ketidak otentikannya “ demikian sebagian orang menyatakan ketika melihat sejarah Mandar hanya dipenuhi lembaran-lembaran perbedaan. Pernyataan ini mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak harus membenarkan semuanya. Karena ketika kecelakaan lalu lintas tetap terjadi, tidak harus semua traffic light diseluruh dunia harus dicabut. Anggaplah perbedaan-perbedaan itu hanyalah sebatas duri yang menusuk kaki kita. Tentu saja jika kaki kita tertusuk duri, tidak harus menjadikan amputasi sebagai jalan keluar, tapi cukup berusaha mencabut duri itu dari kaki kita. Meski kemudian proses mencabut duri itu harus merasakan sakit, perih, tapi untuk sebuah proses penyembuhan, saya kira rasa sakit itu akan mampu kita lalui secara perlahan dan pasti.

Terlepas dari sejarah Mandar sebagai sebuah peristiwa kecelakaan, tertusuk duri, atau bahkan mati karena over dosis, lagi-lagi tidak harus berusaha menutup semua pabrik obat-obatan diseluruh dunia untuk menghentikan produksinya. Sebab bagaimanapun, tak akan pernah ada ruang yang tercipta untuk itu. Sebab mencapai sebuah kebenaran tentu harus melalui proses kekeliruan, seperti halnya ketika Nabi Ibrahim melakukan pencarian Tuhan atau pengenalan Tuhan, sempat terjadi kekeliruan dalam keraguannya memahami Tuhan. Sampai-sampai matahari, bulan dianggap sebagai Tuhan, tapi kemudian karena kekeliruan dan keraguan itu akhirnya ia mendapat petunjuk tentang kebenaran Tuhan. Oleh karenanya, mari kita secara kolektif membuat sebuah perbaikan sejarah guna mewariskan sebuah konsep yang ilmiah kepada anak cucu kita kelak. Ilmiah dalam artian, tidak sekedar menyuguhi mereka dengan cerita mitos yang sebenarnya hanya merupakan kebuntuan pemikiran dalam menalar dan menulis sejarah pada masa lampau.

Beberapa hal yang sering kita dapati, ketika membaca dan menelaah buku sejarah Mandar yang banyak ditulis oleh para sejarawan, kemungkinan besar kita akan menemukan adanya ketimpangan struktur penulisan di dalamnya. Seperti yang Suardi Kaco Paparkan dalam salah satu artikelnya" Menulis sejarah Mandar dalam tafsir asas tunggal" aroma konstruksi penulis sangat terasa dalam alur penulisan sejarah Mandar sehingga nampak seperti naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis.

Kondisi yang sama kita temukan ketika membincang manusia pertama dalam kehidupan masyarakat Mandar yang kerap dimitoskan. Beberapa sejarawan Mandar menghadirkan sosok manusia pertama dengan mengikuti logika manusia pertama di tanah Bugis yaitu Tomanurung. Tomanurung adalah manusia yang dikonsepsikan sebagai manusia langit yang turun ke bumi melalui cara yang unik dan ajaib. Salah seorang Sejarawan Mandar, Abdul Muis Mandra dalam bukunya, Assitalliang (2009) menerangkan bahwa manusia pertama yang berkembang di Mandar adalah berasal dari hulu sungai Saqdang yang muncul sesudah terjadinya banjir besar. Cikal bakal nenek moyang orang Mandar ini dikenal keberadaannya dengan istilah ’Tau Pitu’ (Manusia Tujuh) karena terdiri dari 7 orang. Ada yang mengatakan bahwa tujuh orang ini bersaudara, namun ada juga yang mengatakan tidak. Dan kenyataannya, sebagian besar sejarawan menegaskan bahwa mereka ini memang tidak bersaudara bahkan tidak saling mengenal karena mereka hanya merupakan korban banjir yang terseret air sampai ke wilayah Mandar. Ketujuh manusia itu adalah :Talombeng Susu pergi dan menetap di Luwu, Talando Beluhe pergi dan menetap di Bone, Talambeq Kuntuq pergi dan menetap di Lariang, Pongka Padang pergi dan menetap di Tabulahan, Paqdorang pergi dan menetap di Belawa, Sawerigading pergi entah kemana, Tanriabeng pergi entah kemana.

Terkait konsepsi manusia pertama ini juga oleh Abdul Muis Mandra mencatat ada empat konsepsi tentang Tomanurung yang direkam dalam berbagai Lontraq Mandar, yaitu: Tokombong Dibura (Orang yang datang dari busa air), Tobisse Ditallang (Orang yang datang dari belahan bambu), Tonisesseq Ditingalor (Orang yang keluar dari perut ikan Tingalor), Tomonete Ditarauwe (orang yang datang meniti pelangi). HM.Tanawali Azis Syah juga menerangkan bahwa tradisi di Sulawesi mengenal banyak sekali Tomanurung yang sampai terakhir dipercaya oleh rakyat sebagai orang turunan dari langit. Dan memang sampai hari ini belum ada kesatuan konsep tentang Tomanurung ini, tapi yang pasti Tomanurung itu diyakini dan disepakati berasal dari daerah lain yang lebih maju kebudayaannya, mungkin pula karena kehebatan dan keberaniannya, atau bisa jadi juga gelaran Tomanurung itu dipakai dengan tujuan-tujuan politik dengan mengagungkan asal usulnya.
Tulisan ini tentu saja tidak dalam rangka mendurhakai apa yang telah pendahulu kita lakukan, tapi keberadaan buku sejarah yang beredar dan konsepsi Tomanurung ini penting untuk kita telaah kembali agar dengan mudah anak-cucu kita merasa bangga menjadi Mandar yang tau perruqdusang (asal-usul), bukan sebagai turunan dari manusia yang tak dikenal rumbu apinna (tidak dikenali asal muasalnya). Untuk tujuan itu, saya ingin mengetengahkan sebuah perbandingan untuk menjadi acuan atau mungkin menjadi bahan diskusi kita dalam setiap halaqah dan seminar tentang sejarah dan kebudayaan Mandar.

Periodesasi Sejarah

Periodesasi sejarah Mandar sebagai manusia, bukan sebatas etnik saja harus dirangkai dengan asal-usul dari mulai zaman prasejarah, sejarah sampai kepada zaman digital hari ini. Dengan demikian kita akan melihat keterkaitan asal-muasal kita dengan bangsa dan peradaban lain yang lebih dahulu maju dan berkembang dibelahan bumi ini. Permulaan generasi pertama manusia dalam kitab-kitab suci bangsa Timur Tengah bahwa Adam, yang dianggap sebagai manusia pertama dan Nabi pertama, mulai mengembangkan generasinya bersama Siti Hawa, nenek moyang manusia yang ditemukan kembali setelah didamparkan di daerah India dari Surga. Meski Adam sebagai manusia pertama masih membutuhkan kajian, tapi paling tidak, kita sepakati sebagai konsepsi Tomanurung yang tak punya ibu atau bapak, atau manusia langit, manusia surga yang dipindahkan kedunia.

Zulfihadi, dalam salah satu tulisannya menerangkan bahwan dari Adam ini lahir generasi berikutnya yaitu beberapa kelompok Bangsa. Bangsa Semetik menurunkan bangsa Arab dan Israel yang selalu berperang. Kabarnya perpecahan kedua bangsa ini dimulai sejak Nabi Ibrahim. Bangsa Syam yang kemudian dikenal sebagai ras Aryan, menurunkan Bangsa Yunani dan Roma yang menjadi cikal bakal Eropa (Hitler merupakan tokoh ras ini yang ingin memurnikan bangsa Aryan di samping Bangsa Braminik yang chauvinistic dan menjadi penguasa kasta tinggi di agama Hindu), Nordik, Patan, Kaukasian, Slavia, Persia (Iran) dan India Utara (semisal Punjabi, Kashmir dan Gujarat) berkulit putih serta bule-bule lain sebangsanya. Bangsa Negroid menurunkan bangsa Afrika dan beberapa bangsa berkulit hitam lainnya di dunia seperti Bangsa Dravidian (India berkulit Hitam), Papua, Samoa, Aborigin di Autralia, Asmat dan bangsa lain yang hidup di kepulauan Polinesia, Samudera Pasifik.

Bangsa Tartar menurunkan Ras Mongoloid yang terdiri dari bangsa Mongol; Cina, Korea, Uzbek, Tazik, Kazakh, Kazan di Rusia, bangsa Nomad penghuni Kutub Utara dan Selatan bermata sipit, Hokkian yang menjadi Konglomerat dan Mafia di Indonesia serta Bangsa Maya, Suku Indian dan lain sebagainya yang menjadi penduduk asli benua Amerika dan yang kedua; Ras Austronesia, yang menyebar di Madagaskar, Afrika; Batak, Proto Malayan dan Neo Malayan; Melayu, Jawa dan lain-lain.

Penyebaran populasi manusia terjadi pasca “Tsunami” pertama atau dikenal sebagai banjir bah dizaman Nabi Nuh AS. Di zaman ini terdapat sebuah komunitas manusia yang konon mempunyai tinggi badan 15-30 meter punah ditelan banjir karena kesombongannya. Peneliti antropologi Amerika di awal abad 20 menemukan kembali bangsa ini di pedalaman Afrika, namun lokasinya dirahasiakan oleh pihak militer yang tertarik untuk mengambil sampel komunitas ini untuk rekayasa gen tentara AS. Penelitian juga diarahkan untuk menghidupkan kembali Bangsa Dinosaurus, sejenis binatang purba, yang juga mati tenggelam karena tidak sempat dan tidak ‘muat’ dimasukkan dikapal Nabi Nuh 3000-1000 SM (sebelum masehi).
Bangsa Batak yang merupakan bagian dari Ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang berwarga negara India. Adat istiadat mereka dan aksesoris pakaian yang dimiliki sampai sekarang masih mirip dengan pakaian Batak, misalnya pernik dan warna ulos. Sifat dominan dari ras ini adalah kebiasaan hidup dalam Splendid Isolation dilembah-lembah sungai dan di puncak-puncak pegunungan.

Akan halnya dengan bangsa Indonesia, Prof. Moh. Yamin mengatakan bahwa asal bangsa Indonesia dari daerah Indonesia sendiri,” pendapat ini didukung suatu pernyataan tentang Blood Und Breden Unchro yang artinya darah dan tanah bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri. Fosil dan artefak itu lebih banyak dan lebih lengkap ditemukan di wilayah Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Asia. Misalnya dengan penemuan manusia purba sejenis homosoloensis, homowajakensis.
Sedangkan Brandes yang meneliti dengan perbandingan bahasa, mengatakan bahwa bangsa yang bermukim di kepulauan Indonesia memiliki banyak persamaan dengan bangsa-bangsa pada daerah-daerah yang membentang dari sebelah utara Pulau Formosa, sebelah barat daerah Madagaskar, sebelah selatan yaitu tanah Jawa, Bali, sebelah timur sampai ke tepi pantai barat Amerika (terdesak oleh alam).

Berdasarkan penggunaan bahasa yang dipakai di berbagai kepulauan Kern berkesimpulan bangsa Indonesia berasal dari satu daerah dan menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Campa dan agak ke utara yaitu daerah Lonkin. Namun, sebelum bangsa Indonesia tiba di daerah Kepulauan Indonesia, sudah ditempati bangsa berkulit hitam dan berambut keriting. Bangsa tersebut hingga sekarang menempati daerah-daerah Indonesia timur dan daerah- daerah Australia.

Namun Mochtar Lubis berpendapat lain. Beliau menulis bahwa nenek-moyang bangsa Indonesia mula-mula berasal dan bergerak dari bagian timur Eropa tengah dan bagian utara wilayah Balkan sekitar laut hitam kearah timur. Mencapai Asia lalu masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan. Arus selatan mencapai Yunan. Sedang bagian timur mencapai laut Indo China. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang yang berimigrasi dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan wilayah Balkan itu adalah orang-orang Thracia, Iliria, Cimeria, Kaukasia, dan mungkin juga orang Teuton, yang memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum Nabi Isa. Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.

Untuk menguatkan hipotesanya Mohtar Lubis mengatakan bahwa ada kemiripan pot-pot tanah liat Kalumpang di Mamuju dengan pot-pot tanah liat Samron-Send Kamboja, atau dengan jambangan-jambangan pada budaya Hallstatt di Eropa serta jambangan-jambangan Yunani. Kemiripannya pada desain berkelok-kelok atau berliku-liku, bulatan-bulatan yang bersambung ke garis-garis miring dan segi-segi tiga yang digore-gores. Wallahu ‘Alam Bissawab.

Asal-usul Manusia Mandar

Lalu darimana penyebutan Toraja ini ?, Sebagaimana dikisahkan, bahwa pada awalnya sekelompok orang yang membentuk diri sebagai suatu masyarakat di pinggir pantai yang dikenal sebagai "To Alau" (orang di timur). Seiring waktu, masyarakat itu semakin berkembang dan penyebutan identitas mereka sebagai "To Alau" semakin di sederhanakan menjadi "To Luu", sehingga pengertiannya bergeser menjadi "orang di laut". Sesuatu yang sesungguhnya "tentu saja" tidak dipermasalahkan, mengingat perkampungan mereka terletak dipinggir laut. Seiring waktu, perkampungan itu kian besar, sehingga sekelompok keluarga memutuskan untuk berpindah kearah barat untuk memulai kehidupan bercocok tanam. Maka mereka merambah hutan pegunungan kearah barat hingga menemukan tempat yang cocok. Mereka membangun perkampungan itu sebagai hunian baru yang akhirnya dikenal oleh masyarakat "To Luu" sebagai "To Riaja" (Orang di Barat). Waktu berlalu dan zaman berganti, penyebutan "To Riaja" tersebut kini berubah menjadi "Toraja".

Dengan fakta-fakta tentang Toriaja atau Toraja ini, apakah tidak mungkin bahwa dari mereka ini melakukan ekspansi lalu muncul di Sungai Saqdang, yang dikenal dengan tau pitu (Manusia tujuh). Manusia Tujuh inilah yang beranak pinak, kawin mawin dan berkembang menjadi sebuah peradaban Talollo di Tabulahang, Tanah Lotong di Kalumpang dan juga di Baras. Ini akan menjadi sebuah kajian awal untuk kemudian menelusurinya kembali lalu kita lisan tuliskan. Istilah Tomanurung tidak harus dihilangkan, juga tidak harus dipersepsikan lagi sebagai manusia pertama, melainkan sebagai sebuah penghargaan yang diberikan kepada pendatang baru yang memiliki cara berfikir lebih maju. Tomanurung menjadi gelar kehormatan bagi seseorang yang mampu memberi petunujuk dan menuntun masyarakat pada saat itu.

Sampai disini, saya kira kita sudah bisa membuat periodesasi sejarah Mandar selanjutnya setelah Tomanurung, yaitu periode Pongka Padang dan Torijeqneq (ingat, Pomgka Padang adalah gelaran, tidak satu orang yang menyandang gelar kebangsawanan ini, ada juga Pongka Padang lain yang kawin dengan Sanrabone dan ini punya periode yang berbeda), selanjutnya periode kerajaan, periode masuknya Islam, periode masuknya penjajahan sampai periode kemerdekaan. Hal ini penting agar dalam penulisan sejarah selanjutnya tidak terkesan sigaru pecaq.

Buku Sejarah Mandar

Selain Tomanurung dengan rumusan periodesasinya, buku sejarah Mandar juga harus ditelaah secara mendalam agar tidak terjadi kesemrawutan, sebab dari sekian banyak buku sejarah, termasuk juga salinan lontaraq, yang kita temukan justreru lembaran-lembaran perbedaan yang tentu ini akan menjadi sebuah proses mengedifikasi kesalahan kegenerasi jika tidak segera dilakukan kajian dan telah khusus lalu kemudian kita berusaha merevisi buku-buku sejarah yang beredar di sekolah-sekolah dan di masyarakat.

Selama ini, buku utama yang menjadi rujukan para sejarawan dalam menulis sejarah Mandar adalah Lontaraq Mandar yang masih berbahasa Mandar. Sedangkan Lontaraq Mandar kemungkinan besar ditulis oleh kalangan kerajaan yang tentu saja berimplikasi terhadap proses pembesaran diri untuk kemudian memposisikan kerajaan-kerajaan lain yang juga berdaulat pada zamannya. Ditambah lagi buku sejarah yang ditulis oleh kolonialis Belanda. Penulisan tentang Mandar oleh Belanda berawal pada saat terjadinya proses penjajahan di Indonesia. Motif dari penulisan dan pengkajian tentang Mandar oleh Belanda tidak lain adalah kepentingan penjajahan demi menanamkan tangan kuasanya di tanah Mandar serta penguasaan terhadap sektor kekayaan alamnya.
Setelah pasca hengkangnya kolonislisme Belanda di Indonesia, termasuk di tanah Mandar. Muncul semacam mental baru dikalangan para sejarawan dan kaum intelektual di Indonesia, dimana buku-buku yang pernah ditulis oleh kolonialis Belanda menjadi rujukan utama oleh mereka. Hal yang sama juga terjadi di tanah Mandar, dimana banyak sejarawan yang mengkaji dan menulis kembali tentang Mandar dengan mengambil karya-karya Belanda sebagai referensi mereka.

Imbasnya, sejarah tutur (lisan) yang berkembang kuat di masyarakat, khususnya pada masyarakat pinggiran dianggap bukan lagi bagian dari sejarah. Apalagi sejarah tutur yang berkembang di masyarakat pinggiran banyak yang tidak mampu ditangkap oleh logika manusia. Kalaupun mereka melogikakannya terkadang hasilnya melenceng dari maksud yang sebenarnya (Suardi Kaco)

Sejarawan Mandar misalnya, banyak mengabaikan sejarah tutur yang masih kuat di masyarakat Mandar. Mereka hanya merujuk sejarah teks yang telah dibakukan dan dibukukan oleh kelompok terntentu. Baginya, keabsahan sebuah karya sejarah jika ia lahir dari penuturan yang menyandang gelar sebagai “sejarawan”, bukan dari kaum pinggiran yang tidak pernah menempuh jenjang pendidikan formal.

Nah saatnya sekarang kita kembali kepelosok untuk meneliti dan meriset kembali peradaban masa lampau yang pernah berkembang dan berdaulat saat itu.

Penutup

Dari sekian perbandingan yang saya uraikan ini, ada sejumput harapan kepada saudaraku Darmansyah sebagai Ketua MSI Sulbar, untuk bisa menjadikan MSI sebagai perekat antar sejarawan yang ada di Mandar. Diharapkan, kedepan ada buku sejarah Mandar yang utuh dan menggambarkan keberadaan kerajaan-kerajaan dari Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, Sampai kepada Karua Tiparittiqna uhai dan Paliliq Arrua. Hal ini penting agar memudahkan kita dalam mempelajari sejarah, budaya dan kearifan lokal yang pernah ada dan masih eksist sampai hari ini.

Akhirnya, saya ingin mengatakan menulis boleh saja salah, tapi Jangan bohong !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BALA SUJI/LAWA SOJI/WALASOJI

Tafsir Lagu To Pole Dibalitung

Masihkah kita Mala’bi’ Pau